LATILOG: Lalu Lintas – Etika – Logika (1)

by Pak Anggur

Sebelum salah paham, sama sekali tulisan ini tidak untuk menyaingi apalagi menyangkal ide Madilog-nya Tan Malaka. Meilirik pun tak berani. Nyontek singkatan, iya. Kita akan bicara masalah lalu lintas saja.

Apakah anda sejenis dengan saya? Pengendara sepeda motor dan kadang mengemudi mobil (bila ada obyekan atau alasan lain)? Di Kota Jogja ini? Dalam 5 tahun terakhir? Semakin sumpeg. Yakin kita semua merasakan itu. Kredit kendaraan semakin mudah. Penghasilan orang-orang mungkin naik. Transportasi umum tidak memadai. Gengsi dong sama tetangga jika tak punya kendaraan. Silakan tambahkan lagi alasan yang bisa disalahkan atas kondisi jalan raya yang kian hari terasa kian sempit dan ganas.

Yang saya rasakan adalah, kok malah di Jogja tercinta ini, yang katanya orangnya santun, pekewuh, berubah jadi waton dan tidak peduli dengan pengguna jalan yang lain. Pasti anda pernah mengalami kondisi seperti ini: anda hendak menyeberang ke sisi jalan yang lain, bukan diberi jalan malah dipotong terus jalurnya. Makin anda maju, yang dari arus lalu lintas lebih besar makin melebar ke sisi kanan dia bahkan kadang sampai melewati marka. Ini saya heran, jika pengemudi yang lain lebih sabar dan memberi jalan, akan lebih cepat dan aman penyeberang lewat dan lalu lintas tidak kusut. Pengguna jalan sepertinya lebih suka pencet klakson dan menguntir setang atau setir sedikit ke kanan daripada menarik rem dan menurunkan kaki untuk berhenti sejenak. Begitu kan? Atau jangan-jangan anda termasuk yang malas memberi jalan itu?

Kejadian lain yang sering terjadi, seorang pengendara (biasanya motor) akan meneyeberang ke sisi jalan yang lain untuk putar balik. Karena kebiasaan tidak diberi jalan seperti diatas, maka entah siapa yang mengajari, dia akan berjalan pelan melawan arus (trotoar atau bahu jalan ada di sisi tangan kanannya) sambil menunggu arus utama lebih sepi dan ada kesempatan untuk menyeberang. Ini berbahaya. Tak usahlah perlu ditanya orang itu punya SIM atau tidak, jika pengendara itu bepergian dan pikirannya tidak ditinggal di rumahnya, semestinya sadar bahwa itu melanggar lalu lintas. Dan jika mau berpikir ewuh pekewuh, kalau terjadi kecelakaan bukan dia sendiri yang kena akibatnya. Pengguna jalan yang benar bisa kena celaka. Mana etikanya?

Belum lagi kejadian ambulan yang tidak diberi jalan padahal sirenenya sudah meraung-raung, penyeberang jalan yang diklakson dan dimaki karena bikin kaget padahal yang menyeberang sudah di zebra cross yang jelas-jelas harus diutamakan dan dilindungi undang undang, dan yang paling bodoh adalah bertelefon atau ber-SMS atau ber-BBM sambil berkendara. Sungguh mengerikan.

Yang jauh lebih penting dari memegang SIM atau tidak, mbok ya pas berkendara di jalan raya itu digunakan logika sederhana dan sopan santunnya, karena sekali lagi, bila anda nyrempet atau menabrak pengendara lain karena kesalahan anda, pengendara yang mungkin tidak salah itu ikut sial juga. Tinggal diberi resiko apa: kerusakan kendaraan, cidera badan, atau bahkan kematian. Adilkah itu? Dan jika terjadi kecelakaan, anda akan menghabiskan banyak waktu untuk mengurus ini itu. Minimal adu mulut dengan yang kena. Kan sudah menyita waktu anda yang mungkin bisa digunakan untuk produktif atau selo senang-senang?